Senin, 19 April 2010

BAB VII METODE PENGUMPULAN DATA

BAB VII
METODE PENGUMPULAN DATA

Oleh : H. Idih Sutisna

1. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan sumbernya, data dibagi menjadi:
a. Data Primer: Data yang diusahakan/didapat oleh peneliti
b. Data Sekunder: Data yang didapat dari orang/instansi lain

Data Sekunder cenderung siap “pakai”, artinya siap diolah dan dianalisis oleh penelitian.
Contoh Instansi penyedia data:
• Biro Pusat Statistik (BPS)
• Bank Indonesia
• Badan Meteorologi dan Geofisika
• dll.

Pengumpulan data primer membutuhkan perancangan alat dan metode pengumpulan data .
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Instrument diartikan sebagai alat Bantu dan merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam benda, agar data yang dikumpulkan baik dan benar, instrument pengumpulan datanya pun harus baik. Ada beberapa instrument pengumpuan data sesuai dengan teknik pengumpulan data.
Beberapa metode pengumpulan data :
1. Sumber Dokumentasi
2. Observasi
3. Angket
4. Wawancara
5. Tes
Semua metode mensyaratkan pencatatan yang detail, lengkap, teliti dan jelas.
Untuk mencapai kelengkapan, ketelitian dan kejelasan data, pencatatan data harus dilengkapi dengan:
• Nama pengumpul data
• Tanggal dan waktu pengumpulan data
• Lokasi pengumpulan data
• Keterangan-keterangan tambahan data/istilah/responden

Responden: orang yang menjadi sumber data

Semua butir (item) yang ditanyakan dalam semua metode pengumpulan data haruslah sejalan dengan rumusan masalah dan/atau hipotesis penelitian
Karenanya diperlukan proses Dekomposisi variabel penelitian menjadi sub-variabel, dimensi dan butir penelitian merupakan pekerjaan yang harus dilakukan dengan hati-hati
Proses dekomposisi ini juga memudahkan proses pengukuran dan pengumpulan data
Proses dekomposisi ini dikenal sebagai proses operasionalisasi variabel penelitian.



Pengukuran

1. Sumber Dokumentasi

Sumber dokumentasi dilakukan dengan cara pengumpulan data secara dokumentasi. Harus diselidiki terlebih dahulu apakah sudah ada peneliti menggunakan data tersebut untuk keperluan suatu topik penelitian, apakah topik yang akan diselidiki mempunyai kemiripan. Bila ya, kajian mana yang perlu ada perbaikan atau perlu mendapatkan penekanan.

1. Keuntungan menggunakan data dokumentasi
a. Data dokumentasi dapat memberikan informasi akurat, dimana ditempat lain sulit atau tidak mungkin mendapatkannya.
b. Sebagai suatu data informasi mudah didapatkan. Hal tersebut dapat menghemat waktu dan penggunaan laboratorium.

2. Kelemahan menggunakan data dokumentasi.
a. Jika penelitian tidak hati-hati, kekeliruan dalam mengutip data akan menimbulkan kepalsuan dlam informasi dan ketidakcocokan pada tujuan yang diteliti.
b. Kemungkinan pengutipan data tidak akurat disebabkan tinjauan populasi berbeda.
c. Ada kemungkinan data sudah usang akibat perubahan di masyarakat telalu cepat.
d. Data bersifat pasif tidak bisa mengembangkan dengan situasi yang ada.

2. Observasi

Observasi adalah metode yang cukup mudah dilakukan untuk pengumpulan data. Penggunaan metode ini sangat dipengaruhi oleh interesnya sang peneliti. Observasi ini lebih banyak digunakan pada statistika survei, misalnya akan meneliti kelakukan orang-orang suku tertentu. Observasi ke lokasi yang bersangkutan akan dapat diputuskan alat ukur mana yang tepat untuk digunakan.

Keuntungan Observasi
a. Pada kasus dimana perolehan data dengan metode lain kurang memuaskan dapat dipertegas dengan observasi lapangan sehingga menjadi labih akurat.
b. Dalam waktu yang bersamaan peneliti dapat dengan mudah mangambil responden yang mungkin dengan pertimbangan khusus untuk mengambil tindakan (mengganti atau mengulangi).
Kelemahan Observasi
a. Akan sangat mudah terjadi bisa dalam pelaporan hasil observasi, karena data yang diperoleh bersifat subyektif.
b. Apabila tujuan yang diteliti ingin mengungkapkan kejadian masa lalu maka dengan metode observasi tidak bisa digunakan.

3. Angket

Angket adalah bentuk pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusun sedemikian urut, untuk dapat dijawab oleh responden. Pertanyaan biasanya dilengkapi dengan petunjuk yang jelas. Ada kemungkinan muncul pertanyaan yang membingungkan ada kemungkinan mendapat jawaban yang menyimpang atau bahkan tidak terjawab. Pengambilan hasil angket yang telah dijawab juga merupakan suatu masalah tersendiri seyogyanya perlu ada motivasi-motivasi khusus yang mendorong responden mengembalikan angket.

1. Keuntungan Angket
a. Bila lokasi responden jaraknya cukup jauh, metode pengumpulan data yang paling mudah adalah dengan angket.
b. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan adalah merupakan waktu yang efisien untuk menjangkau responden dalam jumlah banyak.
c. Dengan angket akan memberi kesempatan mudah pada responden untuk mendiskusikan dengan temannya apabila menemui pertanyaan yang sukar dijawab.
d. Dengan angket responden dapat lebih leluasa menjawabnya dimana saja, kapan saja, tanpa terkesan terpaksa.

2. Kelemahan Anket
a. Apabila penelitian membutuhkan reaksi yang sifatnya spontan dengan metode ini adalah kurang tepat.
b. Metode ini kurang fleksibel, kejadiannya hanya terpancang pada pertanyaan yang ada.
c. Jawaban yang diberikan oleh responden akan terpengaruh oleh keadaan global dari pertanyaan. Sangat mungkin jawaban yang sudah diberikan di atas secara spontan dapat berubah setelah melihat pertanyaan dilain nomor.
d. Sulit bagi peneliti untuk mengetahui maksud dari apakah sudah, responden sudah terjawab atau belum.
e. Ada kemungkinan terjadi respon yang salah dari responden. Hal ini terjadi karena kurang kejelasan pertanyaan atau karena keragu-raguan responden dalam menjawab.

Angket dibedakan menjadi dua jenis yaitu : angket terbuka dan angket tertutup.
1. Angket Terbuka
Angket terbuka (angket tidak terstruktur) ialah angket yang disajikan dalam bentuk sederhana sehingga responden dapat memberian isian sesuai dengan kehendak dan keadaannya.
2. Angket Tertutup
Angket tertutup (angket berstruktur) adalah angket yang disajikan dalam bemtuk sedemikian rupa sehingga responden diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan karakteristik dirinya.

Harapan karakteristik pertanyaan pada angket
1. Tujuan yang akan diteliti harus jelas disusun dalm pertanyaan
2. Konfidensial : Data yang diberikan responden merupakan rahasia informasi yang dapat dipercaya
3. Anonim : Nama dari responden seyogyanya bukan menjadi masalah yang penting dalam penelitian
4. Pertanyaan mudah dipahami oleh responden.
5. Spesifik : Pertanyaan harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
6. Ambigiositas : Bila pertanyaan bersifat mendua arti akan menyulitkan bagi responden untuk menjawab.
Contoh : Anda suka naik gunung dengan sepeda dan naik kuda ?
Disini dua pertanyaan diyanyakan bersamaan.
7. Faktual : Pertanyaan seyogyanya bersifat meminta fakta bukan opini.
Contoh : beberapa orang terbunuh dalam peperangan itu ? (fakta).
8. Ketidak jelasan atau kesamaran : Pertanyaan seyogyaanya tidak mengandung ketidak jelasan atau samara-samar keraguan.
Contoh : Pada suatu pertandingan sepak bola, anda suka bila ada taruhannya ?
9. Pertanyaan seyogyanya tidak memberi petunjuk responden terarah pada suatu masalah tertentu.
Contoh : Bukankah anda berfikir bahwa menambah dosis obat yang diminum membahayakan, bukan ?
10. Pertanyaan hendaknya tidak mempersukar responden untuk menjawabnya.
Contoh : Berapa kali anda setiap hari mandi atau sikat gigi ?
11. Pertanyaan hendaknya jangan bersifat pribadi. Kecuali kalau perlu sekali, hindari pertanyan yang bersifat pribadi.
Contoh : Apakah anda suka kawin lagi ?
12. Pertanyaan hendaknya tidak terlalu panjang, seyogyanya singkat dan jelas.
13. Pertanyaan hendaknya bersifat logis.
Tanpa bertanya “ apakah anda mempunyai TV?” Sudah ditanya “Program TV apa yang anda suka ?”

4. Wawancara

Wawancara adalah suatu metode yang langsung berhubungan dengan responden. Hubungan bisa ditempuh secara langsung atau melalui pembicaraan telepon atau melalui internet.
1. Kenutngan dengan wawancara
a. Hubungan secara personal, akan memperolehdata secara langsung, cepat dan ekonomis.
b. Problem akan langsung mengenai sasaran, penegasan maksud pertanyaan dapat langsung diutarakan.
c. Metode ini bersifat fleksibel, mudah menyesuaikan dengan keadaan untuk diarahkan pada relevansi informasi.

2. Kelemahan dengan wawancara
a. Jangkauan responden relative kecil dan memakan waktu lebih lama dari pada angket.
b. Biayanya lebih mahal
c. Dibutuhkan lebih banyak tenaga pewawancara.

Wawancara terbagi menjadi:
a. Wawancara tidak terstruktur
b. Wawancara terstruktur

1). Wawancara tidak terstruktur
• Merupakan langkah persiapan wawancara terstruktur
• Pertanyaan yang diajukan merupakan upaya mengali isu awal
• Sifat pertanyaan spontan
2). Wawancara terstruktur
• Pertanyaan sudah disiapkan, karena sudah dirancang data/informasi apa yang dibutuhkan

Jenis Wawancara:
a. Wawancara langsung (face to face)
b. Wawancara tidak langsung: misalnya dengan telepon atau internet (on-line)
Contoh Terbuka:
1. Bagaimana pendapat anda tentang kepemimpinan manajer di organisasi anda ini ? …………………
2. Apakah saudara seorang dosen yang aktif menulis buku?
Jika ya, sudah berapa buku yang pernah anda tulis: …………buku
Contoh tertutup:
1. Bagaimana kepemimpinan manajer di tempat anda ?
a. Sangat baik
b. Baik
c. Cukup Baik
d. Kirang Baik
e. Tidak Baik
2. Apakah anda seorang dosen yang aktif menulis ?
a. Ya
b. Tidak
Jika Ya sudah berapa buku yang saudara tulis dan terbitkan
a. 2 – 5 buku
b. 6 – 10 buku
c. 11 – 15 buku
d. 16 – 20 buku

5. Tes

Metode pengumpulan data dengan tes adalah responden diberikan soal-soal yang harus dikerjakan. Data yang diperoleh berupa kemampuan masing-masing responden. Tes merupakan serangkaian pertanyaan atau latihan untuk mengukur pengetahuan, inteligensia, kemampuan, bakat yang dimiliki individu.
Contoh: Tes Kepribadian, Tes Bakat, Tes Prestasi, Tes Inteligensi, Tes Sikap

1. Keuntungan dengan tes
a. Dengan tes akan bersifat obyektif mengetahui kemampuan responden
b. Daya pembanding antar responden dapat dengan mudah diketahui
c. Data dapat diperoleh secara serentak bersama.
2. Kelemahan dengan tes
a. Data yang diperoleh sifatnya terbatas pada pengukuran tingkat kemampuan.
b. Responden yang diberi tes harus bersifat homogen dan berada pada tingkatan yang relatif sama.

Senin, 05 April 2010

BAB VI DESAIN PENELITIAN

DESAIN PENELITIAN

Oleh :
H. Idih Sutisna



I. PENDAHULUAN

Penelitian merupakan aktivitas ilmiah yang bermanfaat dalam pengembangan keilmuan. Dalam penelitian unsur kecermatan dan langkah yang sistematis memegang peranan yang penting. Hal tersebut banyak membantu dalam upaya untuk menemukan suatu fenomena baru, teori baru, prototipe, uji diagnostik baru atau merevisi/mengoreksi fenomena yang sudah ada, teori yang sudah ada, uji diagnostik yang sudah. Berikut adalah definisi penelitian menurut Webster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language, 1989, N.Y.)

“ Diligent And Systematic Inquiry Or Investigation Into A Subject In Order To Discover Or Revise Facts, Theories, Applications, Etc. “


Desain menurut Webster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language, 1989, N.Y.)

“ The Plan of Form and Structure of … or The Plan for A Work To Be Executed, or Preparation of Preliminary Sketch “

Bila didefinisikan secara bebas, desain penelitian adalah “ the plan of form and structure of research, atau the plan for a research to be executed, atau preparation of preliminary sketch of research “.






Menurut John deRoche dari Maxwell, Joseph A. 1996. Qualitative Research Design: An Interactive Approach. Thousand Oaks, CA: SAGE.

“ A definition of “research design” (in holistic sense): Planning all components and steps of the research—while taking account of ethics,resources and contingencies—so that you will produce meaningful, important, and credible knowledge-claims about the empirical world.”


Bisa disimpulkan bahwa desain penelitian merupakan perencanaan penelitian yang menyeluruh yang menyangkut semua komponen dan langkah penelitian dengan mempertimbangkan etika penelitian, sumber daya penelitian dan kendala penelitian.

Dalam makalah ini hanya dibatasi salah satu komponen penelitian yang menyangkut jenis penelitian, sedangkan komponen metode penelitian diuraikan dalam makalah yang perpisah. Komponen dan langkah penelitian diuraikan secara singkat terutama untuk jenis penelitian yang menggunakan hipotesis. Untuk mempermudah pemahaman perlu disepakati bahwa yang dimaksud dengan desain penelitian adalah dalam arti sempit yaitu jenis penelitian.

II. KOMPONEN DAN LANGKAH PENELITIAN DENGAN MENGGUNAKAN HIPOTESIS

Berikut ini adalah skema dari komponen dan langkah penelitian .
Langkah penelitian diawali dengan permasalahan dan diakhiri dengan timbulnya masalah baru yang perlu diteliti, demikian seterusnya. Langkah ini bersifat dinamis, bukan merupakan perputaran melingkar, tetapi perputaran spiral menunju kemajuan. Tentunya untuk masing-masing komponen penelitian terkait dengan justifikasi teoritis untuk membedakan dengan ”trial and error ” yang tanpa perencanaan. Untuk masing-masing komponen bisa dirinci menjadi sub komponen. Sebagai contoh untuk komponen pengumpulan data bisa dirinci menjadi metode pengumpulan data (sampling atau sensus, bila sampling perlu dirinci random sampling dan non random sampling, bila random sampling dirinci menjadi batasan populasi, sampel, teknik sampling, besar sampel), alat pengumpul data (kuesioner, peralatan seperti spirometer, tensimeter dls)

(Nachmias, 1987)





III. JENIS PENELITIAN

Secara umum desain penelitian ditentukan oleh pertama, rumusan masalah yang akan dijawab dalam suatu penelitian yang dikenal dengan ” research question ” dan kedua adalah tujuan yang ingin dicapai lewat penelitian yang tentunya harus sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan. Desain penelitian yang akan dipilih juga akan menentukan, pertama, perlu tidaknya penggunaan metode sampling, kedua, bila perlu metode sampling, perlu tidaknya menggunaan rumus untuk penentuan besar sampel, ketiga, perlu tidaknya alokasi random untuk mempertahankan validitas internal pada penelitian yang bertujuan untuk membuktikan hubungan sebab akibat.


Tujuan penelitian bisa dalam bentuk sebagai berikut. Pertama, identifikasi dan karakterisasi suatu fenomena misal “heat stress protein “, kedua, membuat atau mengembangkan model misalnya model pelayanan kesehatan untuk masyarakat perkotaan, ketiga , mengeksplorasi faktor misalnya faktor determinan dari gangguan metabolisme lemak, keempat, membuktikan hubungan antar variabel misalnya hubungan antara respon imun seluler dan respon imun humoral, dan kelima, membuktikan pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain misalnya pengaruh ekstrak daun mimba terhadap terhadap viabilitas kuman stafilokokus.

Untuk bentuk tujuan pertama hingga kelima memerlukan desain penelitian non eksperimental karena peneliti sama sekali tidak melakukan intervensi baik dalam pemberian obat, teknologi kedokteran, atau kebijakan kesehatan padaa individu yang diteliti. Sedangkan untuk bentuk tujuan kelima memerlukan desain penelitian eksperimental karena peneliti melakukan intervensi terhadap individu yang diteliti. Ada yang menyebut penelitian non eksperimental sebagai penelitian observasional. Untuk bentuk tujuan pertama hingga ketiga memerlukan desain penelitian observasional yang bersifat deskriptif eksploratif non hipotetik. Untuk bentuk tujuan keempat memerlukan desain penelitian observasional yang bersifat analitik inferensial hipotetik karena dalam pembuktian memerlukan metode statistik inferensial untuk pengujian hipotesis.

Untuk penelitian observasional yang bersifat deskriptif eksploratif non hipotetik bisa dilakukan lewat pendekatan, pertama pendekatan kuantitatif – numerik, dan kedua, pendekatan kualitatif fenomenologis/verstehen. Yang terakhir ini banyak digunakan dalam penelitian di bidang ilmu humaniora yang mempunyai jenis penelitian yang bervariasi mulai yang sederhana klasik seperti studi kasus (case study) hingga yang kontemporer seperti analisis wacana (discourse analysis). Untuk yang pertama banyak digunakan di bidang biologi, kedokteran, farmasi, dan kesehatan masyarakat seperti mengetahui analisis kekerabatan (filogenetik) suatu virus campak, isolasi bahan aktif dari buah pace dls.

Penelitian observasional bisa juga menggunakan pendekatan epidemiologis. Tentunya perlu diperhatikan apa hakekat pendekatan epidemiologis yaitu berkaitan dengan distribusi suatu penyakit menurut demografis, geografis, sosio kultural dan berkaitan dengan hubungan antara faktor resiko dan penyakit. Yang pertama menggunakan pendekatan epidemiologis – deskriptif dan yang kedua menggunakan pendekatan epidemiologis analitik.


IV. DESAIN PENELITIAN EPIDEMIOLOGIS

A. PENELITIAN BELAH LINTANG/PENEMPANG (CROSS-SECTIONAL STUDY)

Penelitian ini disebut juga “prevalence study” karena dari penelitian ini diperoleh prevalensi suatu penyakit. Penelitian ini disebut juga “correlational study “ karena bisa digunakan untuk mengukur kuatnya hubungan antara faktor resiko dengan penyakit. Dikatakan “cross-sectional study “ karena faktor resiko dan penyakit diamati pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini tidak bisa digunakan untuk membuktikan hubungan sebab akibat.

saat penelitian
terpapar faktor resiko (E)
dan penyakit (D) diobservasi

B. PENELITIAN KASUS KONTROL (CASE CONTROL STUDY)

Penelitian diawali dengan penentuan kelompok “disease” dan kelompok “non disease “. Selanjutnya di lacak kemungkinan adanya faktor resiko di masa lampau yang ada kaitannya dengan timbulnya “disease “ yang dipelajari. Dalam melacak adanya faktor resiko tentunya ada kelemahannya yaitu bias karena individu diminta untuk mengingat tentang apa yang pernah dialaminya dalam terpapar faktor resiko di masa lampau. Bias tersebut dikenal dengan “recall bias “ peluang bias lebih besar pada kelompok “non disease” dibandingkan kelompok “disease”.


masa lampau saat penelitian
di recall adanya faktor resiko disease (D) dan
non disease(ND)








C. PENELITIAN KOHORT (COHORT STUDY)

Penelitian diawali dengan kelompok yang terpapar faktor resiko (E) dan kelompok yang tak terpapar faktor resiko (NE) selanjutnya diikuti dalam jangka waktu yang ditentukan kemudian dievaluasi timbulnya penyakit (D) atau tidak timbul penyakit (ND) pada kedua kelompok. Penelitian ini disebut juga “ incidence study “ karena dengan penelitian ini diperoleh insiden suatu penyakit.



saat penelitian dilakukan di masa mendatang
timbul D atau ND







D. PENELITIAN KOHORT HISTORIS (HISTORICAL COHORT STUDY)

Penelitian diawali di masa lampau tentang adanya paparan terhadap faktor resiko (E) kemudian diikuti kemudian terjadinya penyakit (D) di masa lampau, saat ini ataupun di masa mendatang.




E di masa lalu D di masa lalu D saat ini D di masa
y.a.d.












E. PENELITIAN KASUS KONTROL TERSARANG (NESTED CASE CONTROL STUDY)


Penelitian ini disebut “hybrid design” atau “ambidirectional study” atau “industry-based case control study”. Suatu studi hubungan antara pemaparan faktor resiko (E) dan disease (D) di kalangan populasi pekerja sebesar N untuk selanjutnya direkonstruksi profil pemaparan untuk semua pekerja menurut tingkat pemaparan. Cara yang lebih efisien adalah dengan membatasi pada analisis kematian akibat disease tersebut yang diidentifikasi selama menindak lanjuti kohort. Pada saat kematian terjadi akibat disease kemudian di ambil sampel dari populasi pekerja yang bebas disease (ND) kemudian dibandingkan tingkat pemaparannya










V. DESAIN PENELITIAN SURVEI

Survei adalah proses pengumpulan dan pengukuran data dengan ciri sebagai berikut. Pertama, bertujuan untuk menghasilkan statistik yang merupakan deskripsi kuantitatif/numerik dari beberapa aspek populasi yang dipelajari. Kedua, dengan cara mengumpulkan informasi dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dan jawaban yang diperoleh merupakan data yang perlu dianalisis. Ketiga, keterangan yang dikumpulkan tersebut merupakan fraksi dari populasi yang disebut sampel.

Metode pengumpulan data yang bisa digunakan pada penelitian survei adalah, pertama, dengan mengirim kuesioner per pos, kedua, dengan melakukan wawancara pribadi, dan ketiga dengan melakukan wawancara per tilpon.

Keuntungan dari metode pengumpulan data dengan mengirimkan kuesioner per pos adalah pertama, biaya rendah, kedua, bias akibat kontak langsung tidak ada. Ketiga, tanpa nama (anonym), keempat, jawaban dan konsultasi bisa dipertimbangkan, dan kelima, jangkauan luas. Adapun kerugiannya adalah, pertama, hanya untuk pertanyaan sederhana, kedua, tidak bisa dilakukan probing, ketiga, tidak bisa diawasi siapa yang mengisi kuesioner, dan keempat, response rate rendah.

Upaya untuk mengatasi kerugian adalah, pertama, perlu pesan sponsor, kedua, perlu memotivasi untuk merespon, ketiga, perlu memperhatikan format kuesioner dan cara pengiriman, keempat, perlu dilengkapi kata pengantar. Kelima, perlu menggunakan self address, keenam, perlu selection responden, dan ketujuh, perlu tindak lanjut (follow up).

Ada tiga bentuk wawancara pribadi, pertama, wawancara terstruktur dan terjadwal ( the the schedule-structured interview), kedua, wawancara terstruktur dan tak terjadwal (the nonscheduled-structured interview), dan ketiga wawancara tak terstrukture dan tak terjadwal (the nonscheduled-unstructured interview). Bentuk pertama paling sering digunakan dalam penelitian survei di mana semua responden yang diwawancarai akan memberikan pola respon yang sama karena struktur dan urutan kuesioner sama untuk semua responden. Dengan demikian pemrosesan data dari kuesioner ini lebih mudah. Bentuk ini paling ketat bagi pewawancara karena ia tidak bisa melakukan improvisasi dalam wawancara.

Bentuk kedua lebih longgar karena memberikan fleksibilitas bagi pewawancara dalam mengajukan pertanyaan ke responden. Kuesioner terstruktur namun jadwal atau tata urutan menanyakan lebih fleksibel. Bentuk ketiga paling fleksibel bagi pewawancara. Sering digunakan dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif di mana pewawancara bebas tanpa menggunakan kuesioner terstruktur, hanya dalam bentuk catatan saja.

Ada beberapa prinsip wawancara yang perlu diperhatikan. Pertama, responden memerlukan suasana yang menyenangkan dan memuaskan dalam interaksi dengan pewawancara. Kedua, responden perlu mengetahui bahwa penelitian adalah bermanfaat. Ketiga, pewancara perlu mengatasi hambatan yang ada di benak responden

Sebelum melakukan wawancara, pewawancara perlu pertama, memperkenalkan diri, kedua, memotivasi responden, ketiga, menjelaskan proses terpilihnya responden , keempat, beradaptasi dengan situasi yang ada, kelima, menguraikan petunjuk menjawab secara singkat, dan keenam, menciptakan hubungan yang meyakinkan dan saling pengertian.

Dengan makin luasnya sistem jaringan tilpon dimungkinkan untuk menggunakan metode wawancara per tilpon. Kerangka sampling (atau frame atau daftar nama individu di populasi) dapat diperoleh dari direktori tilpon yang dikeluarkan oleh Kantor Tilpon. Peneliti bisa membatasi populasi dengan memilih populasi berdasarkan tiga digit pertama nomor telpon yang disebut ” telephone exchange number ” misalnya, (592) – XXXX. Kemudian sebagai kerangka sampling disusun dari 4 digit yang terakhir dari 0000 hingga 9999 untuk digunakan untuk melakukan sampling random. Tentu perlu diperhatikan prinsip satu responden satu nomor tilpon. Nomor yang sudah terpilih secara random kemudian dikontak (random digit dialing) untuk selanjutnya diwawancarai. Kelemahan dari metode ini adalah terjadinya ”broken off interview ” di mana setelah responden mengangkat tilpon kemudian langsung ditutup pertanda responden tidak bersedia diwawancari.

Berikut ini adalah ringkasan perbandingan antara ketiga metode pengumpulan data.




VI. DESAIN PENELITIAN EKSPERIMENTAL

Dibandingkan dengan desain penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, desain penelitian eksperimental mempunyai validitas internal tertinggi. Validitas internal merupakan ”condition sine qua non ” atau syarat mutlak untuk pembuktian kausalitas. Untuk menegakkan hubungan sebab akibat perlu diperhatikan tiga hal berikut. Pertama, adanya kovariasi, artinya dua atau lebih variabel bervariasi secara bersama. Sebagai contoh, makin banyak penduduk yang mengkonsumsi lemak secara berlebihan, makin banyak pendudujk yang mengidap penyakit jantung koroner. Kovariasi dinyatakan secara statistik dengan koefisien korelasi. Dua variabel yang menunjukkan koefisien korelasi yang tinggi, katakanlah 0,9 ini merupakan suatu indikasi kemungkinan adanya hubungan sebab akibat, artinya belum pasti adanya hubungan sebab akibat karena perlu dipenuhi syarat yang kedua.

Kedua, adanya hubungan yang tak palsu (nonspurious relationship). Dua variabel menunjukkan hubungan yang tak palsu kalau tidak bisa dijelaskan oleh variabel ketiga. Sebagai contoh hubungan antara variabel konsumsi lemak berlebihan (X) dan variabel kejadian penyakit jantung koroner (Y), di mana kejadian penyakit jantung koroner bisa dijelaskan oleh variabel hipertensi (Z). Dengan demikian hubungan antara variabel konsumsi lemak berlebihan dan variabel kejadian penyakit jantung koroner dianggap palsu. Ada/tidak adanya hubungan palsu secara statistik dinyatakan dengan koefisien korelasi parsial. Misalnya rxy = 0,75 dan rxy.z = 0,75, maka dikatakan bahwa hubungan X dan Y tidak palsu . Namun bila rxy.z = 0,45 atau rxy.z = 0,99 maka hubungan antara X dan Y adalah palsu. Adanya hubungan yang tidak palsu memperkuat syarat pertama, namun masih merupakan indikasi yang lebih kuat dan perlu dipenuhi syarat yang ketiga.

Ketiga, adanya urutan waktu kejadian (time ordering), artinya penyebab harus dimunculkan dahulu baru dievaluasi timbulnya akibat. Dikondisikan konsumsi lemak yang berlebihan terlebih dahulu baru kemudian dilihat efeknya terhadap jantung.

Untuk menegakkan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen adalah hubungan kausal, menurut desain penelitian klasik diperluikan tiga komponen yaitu, pertama, komparasi, kedua, manipulasi, dan ketiga, kendali validitas internal dari desain penelitian.

Komponen komparasi. Bila kita ingin membuktikan apakah konsumsi lemak yang berlebihan menyebabkan penyakit jantung koroner diperlukan komparasi dengan mereka yang mengkonsumsi lemak sesuai kebutuhan. Kemudian dianalisis aapakah terdapat perbedaan yang yang bermakna kejadian penyakit jantung koroner pada kedua kelompok.

Komponen manipulasi. Ide kausalitas memberikan konsekuensi bahwa jika Y disebabkan oleh X, maka dengan merubah X akan diikuti oleh perubahan oleh Y. Berbeda dengan korelasi yang menyatakan hubungan yang saling timbal balik (simetris), hubungan X dan Y adalah asimetris, bahwa satu variabel adalah ”the determining force” dan variabel yang lain adalah ”the determined response”. Agar hal tersebut bisa ditegakkan, maka perubahan pada X harus mendahului perubahan dari Y.

Komponen kendali validitas internal dari desain penelitian. Kriteria ketiga dari kausalitas diperlukan, bahwa faktor lain sebagai penjelasan tandingan dari hubungan yang teramati antara variabel yang diteliti seharusnya disingkirkan. Faktor demikian bisa membuat invaliditas inferensi bahwa variabel yang dipelajari berhubungan secara kausal. Oleh Campbell dan Stanley memberikan istilah untuk hal tersebut adalah masalah validitas internal yang merupakan ”sine qua non dari penelitian ” . Ini merujuk ke pertanyaan apakah dalam kenyataannya variabel independen menyebabkan variabel dependen.

Faktor yang bisa membahayakan validitas internal dapat diklasifikasikan menjadi faktor ekstrinsik untuk operasi penelitian dan faktor intrinsik yang menimpa hasil selama penelitian berlangsung. Faktor ekstrinsik merupakan bias yang mungkin timbul karena selection individu yang berbeda untuk kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang dikenal dengan ”selection bias ”. Hal ini menyebabkan perbedaan kondisi awal dari individu pada kedua kelompok sebelum penelitian eksperimental dilakukan.

Faktor ekstrinsik yang dapat mengancam validitas internal dari inferensi kausal dapat dikendalikan dengan dua prosedur, pertama, matching sebagai cara untuk menyamakan individu pada kedua kelompok baik dengan precision matching di mana setiap individu yang dialokasikan ke dalam kelompok perlakuan sama (persis) dengan individu yang dialokasikan ke dalam kelompok kontrol. Misal umur sama, jenis kelamin sama, status gizi sama. Cara ini adalah ideal, namun sulit dilaksanakan bila variabel yang hendak di match begitu banyak sehingga pada akhirnya peneliti tidak akan mendapatkan sampel. Cara lain adalah frequency distribution matching di mana setiap individu yang dialokasikan ke dalam kelompok perlakuan harus sama (persis) umurnya, namun cukup rentang umur sama antara 15 – 25 tahun. Kedua, dengan melakukan randomisasi (randomization) atau alokasi random (random allocation) individu ke dalam kedua kelompok.

Faktor intrinsik. Faktor ini merujuk perubahan dalam diri individu atau unit yang diteliti yang timbul selama periode penelitian, perubahan dalam pengukuran dengan instrumen, atau efek reaktif dari pengamatan sendiri. Berikut adalah faktor intrinsik utama yang mungkin membuat invaliditas suatu penafsiran kausal yang diberikan oleh temuan penelitian.

1. History. Faktor ini merujuk semua kejadian yang timbul selama waktu penelitian yang mungkin mempengaruhi individu yang diteliti dan menyokong suatu penjelasan tandingan untuk perubahan dalam variabel dependen. Sebagai contoh seorang ahli gizi mengembangkan PMT (pemberian makanan tambahan) untuk balitas kurang gizi yang selanjutnya diberikan kepada sekelompok balita kurang gizi. Sebelum dan sesudah perlakuan berat badan diukur. Setelah dievaluasi terdapat kenaikan berat badan yang fantastik. Kemudian ada penjelasan bahwa selama penelitian sang ibu memberikan makanan ekstra yang merupakan penjelasan tandingan kenapa berat badannya naik secara fantastik. Bisa juga kemungkinannya terdapat penurunan berat badan. Kemudian ada penjelasan bahwa selama penelitian beberapa kali balita mengalami diare yang berat sehingga berat badannya menurun yang merupakan penjelasan tandingan.

2. Maturation. Faktor ini bisa menjadi penjelasan tandingan yang berarti yang meliputi proses biologis dan psikologis yang menghasilkan perubahan dalam individu atau unit yang diteliti dengan perjalanan waktu. Perubahan ini kemungkinan dapat mempengaruhi variabel dependen dan menyebabkan inferensi yang salah. Sebagai contoh seseorang ingin mengevaluasi efek metode pengajaran terhadap prestasi siswa dengan mengukur sebelum dan sesudah perlakuan. Ternyata dalam perjalanan waktu yang cukup panjang siswa mengalami perkembangan pemikiran menjadi lebih cerdas yang memungkinkan prestasinya meningkat yang merupakan penjelasan tandingan dari efek metode pengajaran.

3. Experimental mortality. Faktor ini merujuk pada masalah drop out (DO) sehingga peneliti tidak memperoleh informasi yang lengkap dari semua individu yang diteliti. Drop out bisa terjadi karena individu meninggal, pindah tempat tinggal, atau memang tidak mau berpartisipasi lagi dalam penelitian karena merasa tidak diuntungkan. Adanya drop out yang menyebabkan besar sampel menyusut bisa mengakibatkan bias dari penghitungan penaksiran secara statistik.

4. Instrumentation. Faktor ini merujuk pada perubahan alat ukur, pengukur, atau keduanya yang menyebabkan perubahan hasil pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan bukan karena faktor perlakuan. Oleh karena itu baik alat ukur maupun pengukur seharusnya sama baik pada kondisi sebelum dan sesudah perlakuan.

5. Testing. Reaktivitas pengukuran yang mungkin merupakan masalah utama dalam penelitian ilmu sosial. Proses ”testing” sendiri bisa merubah fenomena yang diteliti. Efek dari pemberian pretest mungkin mensensitisasi individu sehingga menjadi termotivasi dan mampu memperbaiki prestasi pada posttest. Jadi kalau ada kenaikan skor pada waktu posttest belum tentu karena perlakuan namun lebih karena proses sensitisasi individu sehingga lebih termotivasi, ini merupakan penjelasan tandingan dari inferensi kausalitas.

6. Regression artifact. Faktor ini terkait dengan pemilihan individu dalam kelompok perlakuan atas dasar skor ekstrim dari variabel dependen. Bila hal ini terjadi dan pengukuran tidak andal (unreliable), individu yang mempunyai skor di bawah skor rata-rata pada pretest maka akan nampak membaik pada waktu posttest, sebaliknya individu yang mempunyai skor di atas skor rata-rata pada pretest maka akan nampak menjadi jelek pada waktui posttest. Untuk menghindari keadaan demikian dianjurkan memilih individu dengan skor rata-rata dari variabel dependen.

7. Interaksi dengan selection. Banyak faktor intrinsik yang mengancam validitas internal dari eksperimen dapat berinteraksi dengan selection sehingga menunjukkan ancaman yang bertambah bagi validitas internal. Interaksi yang paling umum terjadi adalah interaksi antara selection – history dan selection – maturasi. Selection –history terjadi bila individu dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol diperoleh dari setting yang berbeda sehingga masing-masing mungkin mempengaruhi responnya terhadap perlakuan. Selection-maturasi merujuk ke situasi di mana individu dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mempunyai tingkat kematangan yang berbeda. Sebagai contoh untuk kelompok perlakuan menggunakan individu pria sedangkan untuk kelompok kontrol menggunakan individu wanita, misalnya akan dibandingkan perkembangan kognitifnya pada pretest dan posttest. Dimungkinkan tingkat perkembangan kognitif wanita lebih cepat dari pada pria sehingga hasilnya berbeda pada posttest.

Untuk mengatasi faktor intrinsik digunakan kelompok kontrol. Sebaiknya kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dipilih secara random atau dengan matching sehingga individu di dalam kedua kelompok mempunyai karakteristik yang tepat sama dan berada dalam kondisi yang identik selama penelitian berlangsung kecuali untuk pemaparan yang berbeda untuk variabel independennya.

Generalisibilitas: Validitas Eksternal. Sering ada pertanyaan sampai seberapa jauh hasil penelitian eksperimental untuk menegakkan kausalitas bisa digeneralisasikan ke populasi yang lebih besar dan diterapkan ke setting sosial-politik yang berbeda. Sesungguhnya, sebagian besar penelitian tidak hanya berkenaan dengan efek suatu variabel terhadap variabel lain di bawah kondisi setting tertentu yang dipelajari, tetapi juga efeknya pada setting alami dan pada populasi yang lebih besar. Hal ini berkenaan dengan istilah validitas eksternal dari desain penelitian. Dua issue utama dari validitas eksternal adalah pertama, ”representativeness of the sample” dan kedua, ”the reactive arrangements in the research prosedur ”.

Representativeness of the sample. Randomisasi mempunyai kontribusi pada validitas internal, tetapi tidak perlu menjamin adanya keterwakilan dari populasi yang dipelajari. Berikut adalah cara untuk memperoleh validitas internal dan sekaligus validitas eksternal.





Reactive arrangement. Hasil dari suatu penelitian tidak hanya digeneralisasikan ke populasi yang lebih luas, tetapi juga ke setting kehidupan yang nyata (real-life setting). Ini selalu tidak dapat dipenuhi, terutama bila suatu penelitian dilakukan di situasi yang artifisialnya begitu tinggi seperti di laboratorium menggunakan binatang percobaan ketimbang manusia, atau bila penelitian yang bahannya diperoleh di manusia namun dikerjakan di laboratorium sehingga lingkungannya berbeda dengan lingkungan sosial manusia.











BERBAGAI MACAM DESAIN PENELITIAN EKSPERIMENTAL

1. DESAIN PRAEKSPERIMENTAL

Merupakan desain yang paling lemah, serta tidak untuk membuktikan hubungan kausal. Ada tiga macam desain praeksperimental.

a. One shot case study atau posttest only design

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut .

X -------- O

Di mana X adalah perlakuan yang diberikan dan selanjutnya O adalah hasil pengamatan yang dilakukan sesudah perlakuan. Desain ini tentunya tidak bisa digunakan untuk mempelajari adanya perubahan sesudah perlakuan karena kondisi awal (pretest) tidak diamati.

Faktor yang memperlemah validitas internal adalah adanya history, maturation, experimental mortality.

Faktor yang memperlemah validitas internal adalah adanya selection bias.

Adanya interaksi antara selection dengan perlakuan X juga memperlemah validitas eksternal.

b. Pretest posttest design

Desain ini sudah lebih baik dari desain sebelumnya. Karena kondisi awal diamati maka bisa digunakan untuk mengevaluasi adanya perubahan sesudah perlakuan dengan membandingkan dengan hasil pengamatan sesudah perlakuan (posttest). Tentunya disain ini belum bisa menjawab bahwa bila terjadi perubahan apakah perubahan tersebut karena perlakuan. Untuk menjawab hal tersebut perlu kelompok kontrol.

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

O1 -------- X ---------- O2

Di mana X adalah perlakuan, O1 adalah hasil pengamatan sebelum perlakuan (pretest) dan O2 adalah hasil pengamatan sesudah perlakuan (posttest).

Faktor yang memperlemah validitas internal adalah adanya history, maturation, testing, instrumentation.

Interaksi antara selection dan maturation dls. juga ikut memperlemah validitas internal.

Faktor yang memperkuat validitas internal adalah tidak ada selection bias dan tidak ada experimental mortality.

Faktor yang memperlemah validitas eksternal adalah adanya interaksi antara testing dan perlakuan X, interaksi antara selection dan perlakuan X.

c. Static group comparison design atau posttest only control group design

Kelemahan dari desain a. disempurnakan dengan menambah kelompok kontrol.

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

X -------- O1

----------------------------
-------- O2

Di mana X adalah perlakuan , O1 adalah hasil pengamatan sesudah perlakuan (posttest) pada kelompok perlakuan, dan O2 adalah hasil pengamatan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol.

Faktor yang memperlemah validitas internal adalah : selection, experimental mortality, dan interaksi antara selection maturation dll.
Faktor yang memperkuat validitas internal adalah : tidak ada history, testing, instrumentation,regression artifact.

Faktor yang memperlemah validitas eksternal adalah adanya interaction antara selection dan perlakuan X.


2. DESAIN EKSPERIMENTAL SUNGGUHAN

Ada tiga jenis desain untuk kelompok ini.

a. Randomized pretestposttest control group design

Desain ini jauh lebih baik dari pada desain praeksperimental. Desain ini mempunyai validitas internal yang jauh lebih baik dari pada desain pertama. Desain ini bisa digunakan untuk membuktikan hubungan sebab akibat. Adanya randomisasi dan penggunaan kelompok kontrol yang sebanding dengan kelompok perlakuan (semacam matching) menunjukkan bahwa rancangan ini bisa mengatasi faktor intern dan ekstern yang bisa mengancam validitas internal. Untuk mengevaluasi adanya perubahan dilakukan pengamatan sebelum dan sesudah perlakuan. Untuk mengevaluasi bahwa perubahan disebabkan oleh perlakuan desain ini dilengkapi dengan kelompok kontrol yang sebanding.

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

R O1 ------- X ------- O2 Kelompok Perlakuan

R O3 ----------------- O4 Kelompok Kontrol
Pretest Posttest

Faktor yang memperkuat validitas internal adalah : tidak adanya history, maturation, testing, instrumentation, regression artifact, selection bias, experimental mortality, interaction antara selection dan maturation dll.

Faktor yang memperlemah validitas eksternal adalah adanya interaction antara testing dan perlakuan X.

b. Solomon four group design


R O1 -------- X --------- O2

R O3 --------------------- O4

R X ---------- O5

R ---------- O6

Faktor yang memperkuat validitas interval adalah : tidak adanya history, maturation, testing, instrumentation, regression artifact, selection bias, experimental mortality, interaction antara selection dan maturation dll.

Faktor yang memperkuat validitas eksternal adalah : tidak adanya interaction antara testing dan perlakuan X.

c. Randomized posttest only control group design


R X ---------- O1

R ---------- O2


Faktor yang memperkuat validitas interval adalah : tidak adanya history, maturation, testing, instrumentation, regression artifact, selection bias, experimental mortality, interaction antara selection dan maturation dll.

Faktor yang memperkuat validitas eksternal adalah : tidak adanya interaction antara testing dan perlakuan X.






3. DESAIN EKSPERIMENTAL SEMU

Dibandingkan dengan desain eksperimental sungguhan, desain eksperimental semu lebih lemah validitas internalnya, tetapi desain ini lebih kuat dari pada desain praeksperimental. Perbedaan lain antara desain eksperimental sungguhan dan desain eksperimental semu adalah desain yang terakhir ini tidak ada alokasi random.

a. Time series design

Ada kemiripan dengan pretest posttest design, hanya frekuensi pengamatannya lebih banyak. Terdapat beberapa kali pengamatan sebelum dan sesudah perlakuan.

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

O1 – O2 – O3 – O4 – X – O5 – O6 – O7 – O8

Faktor yang memperkuat validitas internal adalah : tidak adanya maturation, testing, regression artifact, selection bias, experimental mortality, interaction antara selection dan maturation.

Faktor yang memperlemah validitas internal adalah : adanya history.

Faktor yang memperlemah validitas eksternal adalah : adanya interaction antara testing dan perlakuan X.

b. Equivalent time sample design

Desain ini merupakan bentuk berulang dari one group experimentation dengan melibatkan dua sampel yang ekivalen waktunya, satu ada perlakuan X dan satunya tidak ada perlakuan X.



Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

X1 O X0 O X1 O X0 O DST. DIULANG
--------------- ---------------
ekivalen ekivalen

Faktor yang memperkuat validitas interval adalah : tidak adanya history, maturation, testing, instrumentation, regression artifact, selection bias, experimental mortality, interaction antara selection dan maturation dll.

Faktor yang memperlemah validitas eksternal adalah : adanya interaction antara testing dan perlakuan X, reactive arrangement, dan multiple X interference.

c. Equivalent materials sample design

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

Ma X1 O Mb X0 O Ma X1 O Mb X0 O DST DIULANG


Faktor yang memperkuat validitas interval adalah : tidak adanya history, maturation, testing, instrumentation, regression artifact, selection bias, experimental mortality, interaction antara selection dan maturation dll.

Faktor yang memperlemah validitas eksternal adalah : adanya interaction antara testing dan perlakuan X, dan multiple X interference.










d. Nonequivalent control group design

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

O1 -------- X -------- O2
----------------------------------
O2 --------------------- O4

Faktor yang memperkuat validitas interval adalah : tidak adanya history, maturation, testing, instrumentation, selection bias, experimental mortality.

Faktor yang memperlemah validitas internal adalah adanya antara selection dan maturation dll.

Faktor yang memperlemah validitas eksternal adalah : adanya interaction antara testing dan perlakuan X.

e. Separate pretest posttest design

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

O1 ---------

X --------- O2

Faktor yang memperlemah valididitas internal adalah adanya history, maturation, experimental mortality, interaction antara selection dan maturation dll.

Faktor yang memperkuat validitas internal adalah tidak adanya testing, regression artifact, dan selection bias.

Faktor yang memperkuat validitas eksternal adalah tidak adanya interaction antara testing dan perlakuan X, selection dan perlakuan X, reactive arrangement.




f. Separate pretest posttest control group design

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.

O1 --------

X --------- O2
-----------------------------------------
O3 --------
--------- O4


Faktor yang memperlemah validitas internal adalah adanya maturation, experimental mortality.

Faktor yang memperkuat validitas internal adalah :tidak adanya : history, testing, regression artifact, selection bias, interaction antara selection dan maturation dll.

Faktor yang memperkuat validitas eksternal adalah tidak adanya interaction antara testing dan perlakuan X, selection dan perlakuan X, reactive arrangement.

DESAIN PENELITIAN EKSPERIMENTAL LAINNYA

a. Completely Randomized Design (Desain Acak Lengkap)

Sejumlah individu yang homogen dialokasikan secara random ke dalam kelompok secara lengkap. Misal 20 individu yang homogen dialokasikan secara random ke dalam 4 kelompok dengan jumlah individu yang sama untuk masing-masing kelompok. Alokasi random dilakukan dengan menggunakan random permutation.

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.









b. Randomized Block Design (Desain Acak Kelompok)

Sejumlah individu yang heterogen dipilah menjadi kelompok (blok) yang anggotanya homogen. Kemudian perlakuan A, B, C dialokasikan secara random ke individu di dalam blok yang sama.

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.












c. Randomized Double Block Design atau Latin Square


Desain ini pada prinsipnya adalah sama dengan desain acak kelompok yaitu dilakukan pada individu yang heterogen yang kemudian dikelompokkan dalam bentuk blok yang anggotanya homogen. Bila pada desain acak kelompok individu menunjukkan heterogenitas satu faktor, katakanlah dalam skema dinyatakan dengan empat bentuk yang berbeda, pada desain Latin Square ada dua faktor yang berbeda misalkan bentuk dan warna. Sehingga proses pengeblokan dilakukan dua kali untuk bentuk dan warna. Tentunya pada rancangan ini menunjukkan gambaran bahwa untuk setiap kombinasi faktor maka setiap perlakuan hanya muncul sekali. Asumsi lain adalah tidak adanya interaksi antar faktor.


Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut.









d. Randomized Factorial Design (Desain Faktorial Acak)


Dengan desain ini peneliti memungkinkan untuk mempelajari pengaruh beberapa faktor yang masing-masing mempunyai tingkatan faktor terhadap variabel dependen. Juga dengan desain ini peneliti bisa mempelajari kemungkinkan adanya interaksi antar faktor serta pengaruhnya terhadap variabel dependen. Dengan demikian desain ini bisa menunjukkan efek utama masing-masing faktor , dan efek interaksi antara faktor terhadap variabel dependen.

Secara skematis dapat dilukiskan sebagai berikut



VII. PENUTUP

Untuk menjawab permasalahan penelitian perlu diperhatikan sinkronisasi antara perumusan masalah, tujuan penelitian yang ingin dicapai serta desain penelitian yang dipilih. Secara menyeluruh desain penelitian merupakan perencanaan penelitian yang meliputi komponen dan langkah yang ditempuh.

Pemilihan desain penelitian yang sesuai diharapkan dapat membantu para peneliti untuk mengembangkan keilmuan berbasis pada pengalaman empiris baik penemuan fakta empirik baru atau mengoreksi teori dan teknologi lama yang dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini .



Daftar Pustaka

Campbell, D.T., and J.C. Stanley. 1963. Experimental and Quasi-Experimental Designs for Research. Chicago. Rand McNally College Publishing Company.

Checkoway, H., N. Pearce, and D.J. Crawford-Brown. 1989. Research Methods in Occupatioinal Epidemiology. New York. Oxford University Press.

Kleinbaum, D.G., L.L. Kupper, and H. Morgenstern. 1982. Epidemiologic Research – Principles and Quantitative Methods. New York. Van Nostrand Reinhold Company.

Li, C.C. 1982. Introduction to Experimental Statistics. New York. McGraw-Hill Company.

Nachmias, D, and C. Nachmias. 1987. Research Methods in the Social Sciences. New York. St. Martin’s Press.

Senin, 29 Maret 2010

BAB V PENARIKAN SAMPEL

PENARIKAN SAMPEL

Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi.
Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus antara lain adalah,(a) populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b) keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian; (c) bahkan kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d) demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk
Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel .
Populasi atau universe adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang dijadikan obyek penelitian. Jika yang ingin diteliti adalah sikap konsumen terhadap satu produk tertentu, maka populasinya adalah seluruh konsumen produk tersebut. Jika yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan “X”, maka populasinya adalah keseluruhan laporan keuangan perusahaan “X” tersebut, Jika yang diteliti adalah motivasi pegawai di departemen “A” maka populasinya adalah seluruh pegawai di departemen “A”. Jika yang diteliti adalah efektivitas gugus kendali mutu (GKM) organisasi “Y”, maka populasinya adalah seluruh GKM organisasi “Y”

Elemen/unsur adalah setiap satuan populasi. Kalau dalam populasi terdapat 30 laporan keuangan, maka setiap laporan keuangan tersebut adalah unsur atau elemen penelitian. Artinya dalam populasi tersebut terdapat 30 elemen penelitian. Jika populasinya adalah pabrik sepatu, dan jumlah pabrik sepatu 500, maka dalam populasi tersebut terdapat 500 elemen penelitian.

Syarat sampel yang baik
Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi.
Cooper dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic variance” yang maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis
Contoh systematic variance yang banyak ditulis dalam buku-buku metode penelitian adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan oleh Literary Digest (sebuah majalah yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper & Emory, 1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932 majalah ini berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari calon-calon presiden yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan dari daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D. Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah diperiksa secara seksama, ternyata Literary Digest membuat kesalahan dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel yang diambil adalah mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih yang sebagian besar tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak terwakili, padahal Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah tersebut. Dari kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua : Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan karakteristik populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi, diambil sampel 50 orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari, setiap orang menghasilkan 50 potong produk “X”. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan produk “X” per harinya rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut.
Belum pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error” Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (, makin tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ). Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang ditariknya ditambah. Katakanlah dari 50 menjadi 75.
Di bawah ini digambarkan hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan seperti yang diuarakan oleh Kerlinger

besar
kesa-
lahan
kecil
kecil besarnya sampel besar

Ukuran sampel
Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang harus diambil. Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah sampelnya pun harus banyak. Misalnya di samping ingin mengetahui sikap konsumen terhadap kebijakan perusahaan, peneliti juga bermaksud mengetahui hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan. Agar tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus terdiri atas berbagai jenjang pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin sedikit waktu, biaya , dan tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula sampel yang bisa diperoleh. Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian haruslah dapat dikelola dengan baik (manageable).
Misalnya, jumlah bank yang dijadikan populasi penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya adalah, berapa bank yang harus diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili populasi?. 30?, 50? 100? 250?. Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :
1. Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
2. Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel (laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30
3. Pada penelitian multivariate (termasuk analisis regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan dianalisis.
4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.
Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang bisa dipakai untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)

Populasi (N) Sampel (n) Populasi (N) Sampel (n) Populasi (N) Sampel (n)
10 10 220 140 1200 291
15 14 230 144 1300 297
20 19 240 148 1400 302
25 24 250 152 1500 306
30 28 260 155 1600 310
35 32 270 159 1700 313
40 36 280 162 1800 317
45 40 290 165 1900 320
50 44 300 169 2000 322
55 48 320 175 2200 327
60 52 340 181 2400 331
65 56 360 186 2600 335
70 59 380 191 2800 338
75 63 400 196 3000 341
80 66 420 201 3500 346
85 70 440 205 4000 351
90 73 460 210 4500 354
95 76 480 214 5000 357
100 80 500 217 6000 361
110 86 550 226 7000 364
120 92 600 234 8000 367
130 97 650 242 9000 368
140 103 700 248 10000 370
150 108 750 254 15000 375
160 113 800 260 20000 377
170 118 850 265 30000 379
180 123 900 269 40000 380
190 127 950 274 50000 381
200 132 1000 278 75000 382
210 136 1100 285 1000000 384


Sebagai informasi lainnya, Champion (1981) mengatakan bahwa sebagian besar uji statistik selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain, uji-uji statistik yang ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang jumlahnya 30 s/d 60 atau dari 120 s/d 250. Bahkan jika sampelnya di atas 500, tidak direkomendasikan untuk menerapkan uji statistik. (Penjelasan tentang ini dapat dibaca di Bab 7 dan 8 buku Basic Statistics for Social Research, Second Edition)

Teknik-teknik pengambilan sampel
Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol).
Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah konsumen teh botol, kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena dia tidak mengetahui ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan bahwa 200 konsumen sebagai sampel dikatakan “representatif”?. Kemudian, bisakah peneliti memilih sampel secara acak, jika tidak ada informasi yang cukup lengkap tentang diri konsumen?. Dalam situasi yang demikian, pengambilan sampel dengan cara acak tidak dimungkinkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali sampel diambil dengan cara tidak acak atau nonprobability sampling, namun dengan konsekuensi hasil penelitiannya tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Jika ternyata dari 200 konsumen teh botol tadi merasa kurang puas, maka peneliti tidak bisa mengatakan bahwa sebagian besar konsumen teh botol merasa kurang puas terhadap the botol.
Di setiap jenis teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball sampling

Probability/Random Sampling.
Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya.
Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.

1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
1. Susun “sampling frame”
2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
3. Tentukan alat pemilihan sampel
4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi

2. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya :
1. Siapkan “sampling frame”
2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka untuk stratum I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63 manajer.
Jumlah dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja, kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.

3. Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja. Prosedur :
1. Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
2. Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3. Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4. Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample


4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”. Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :
5. Susun sampling frame
6. Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
7. Tentukan K (kelas interval)
8. Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
9. Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
10. Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya

4. Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
1. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)
3. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
4. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
5. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.

Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak
Seperti telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.

2. Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992).
Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.

3. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang eksklusif (tertutup)


POPULASI DAN SAMPEL

A. POPULASI

Populasi adalah himpunan yang lengkap dari satuan – satuan / individu – individu yang karakteristiknya ingin kita ketahui.

Populasi ada 2 macam, yaitu :
Populasi terbatas, yaitu populasi yang jumlah anggotanya diketahui pasti
Populasi tidak terbatas, yaitu populasi yang jumlah anggotanya tidak diketahui dengan pasti.

B. SAMPEL

Sampel adalah sebagian anggota populasi yang memberikan keterangan / data yang diperlukan dalam suatu penelitian
Sampel merupakan bagian dari populasi
Sampel selalu mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan ukuran populasi

C. MENGAPA SAMPEL DIPERLUKAN

1. Penelitian secara individual terhadap seluruh anggota populasi tidak mungkin dilaksanakan.
2. Objek penelitian bersifat homogen.
3. Dampak destruktif terhadap objek yang diteliti.
4. Hemat waktu, tenaga, dan biaya.

D. JENIS SAMPEL

1. Sampel Probabilitas
Sampel probabilitas adalah himpunan unit / elemen observasi yang dipilih sedemikian rupa sehingga unit/elemen dalam populasi tersebut memiliki peluang yang sama untuk terpilih.
Jenis – jenis sampel probabilitas
a. sampel acak sederhana
b. sampel acak berlapis
c. sampel acak klaster
d. sampel acak dua tahap

2. Sampel Nonprobabilitas
Sampel nonprobabilitas adalah angggota populasi tidak diberi kesempatan / peluang yang sama untuk dijadikan sampel.
Jenis – jenis sampel nonprobabilitas :
Sampel sistematis
Sampel purposif
Sampel kuota



SAMPEL YANG REPRESENTATIF

A. Menentukan Ukuran Sampel

1. Ukuran sampel sangat penting dalam teknik penarikan sampel agar kesimpulan yang ditarik termasuk sah
2. Menurut Gay (1987) ;
- Untuk studi deskriptif, ukuran sampel minimum 10 % dari jumlah populasi.
- Untuk studi kausal komparatif, sampel minimum 30 objek / responden
3. Hubungan antara ukuran sampel dan kesalahan pendugaan berbanding terbalik, semakin besar ukuran sampel maka semakin kecil kesalahan pendudaannya, dan sebaliknya.

B. Menghindari Kesalahan
1. Kesalahan Sampling (sampling error)
Kesalahan sampling adalah kesalahan yang terjadi secara kebetulan ketika terjadi penarikan sampel dilakukan.
2. Kesalahan Nonsampling
Kesalahan nonsampling adalah kesalahan yang pada umumnya dibuat oleh peneliti.

C. Memperkecil Kesalahan
Kesalahan Sampling dapat diperkecil dengan memperbesar ukuran sampel, karena semakin besar ukuran sampel, data yang diperoleh semakin akurat.
Kesalahan Nonsampling dapat diperkecil dengan cara sebagai berikut :
a. mendefinisikan populasi secara jelas
b. merumuskan pertanyaan dengan tepat
c. menggunakan pendekatan yang baik terhadap objek penelitian
Hasil penelitian yang baik dapat diperoleh apabila sampel representatif, artinya karakter anggota sampel dapat mewakili karakter populasinya.

BAB IV HIPOTESIS

HIPOTESIS

 Hipo = di bawah (lemah)
 Thesis = dalil = kaidah = hokum

 Pernyataan tentang suatu dalil atau kaidah, tetapi kebenarannya belum terujikan secara empirik
 Jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan untuk selanjutnya diuji secara empirik melalui penelitian yg dilakukan.
 Penjelasan sementara yang diajukan untuk menerangkan fenomena problematik atau persoalan enelitian
 yang dihadapi
 Suatu pernyataan tentang hubungan (yang diharapkan) antara dua variabel atau lebih yang memungkinkan untuk pembuktian secara empirik.
 Hipotesis adalah pernyataan spesifik yang bersifat prediksi dari hubungan antara dua atau lebih variabel
 Mendeskripsikan secara kongkrit apa yang ingin dicapai/diharapkan terjadi dalam penelitian.

Hipo: dibawah
Tesis: teori
“Dugaan sementara tentang sesuatu yang akan dicari/dibuktikan dalam penelitian”

Ciri Pokok Suatu Hipotesis
• Kalimat deklaratif
• Mengekspresikan korelasi dua variabel atau lebih
• Merupakan jawaban tentatif (sementara terhadap permasalahan)
• Memungkinkan untuk dibuktikan secara empiric

Syarat Hipotesis
1. DINYATAKAN DALAM KALIMAT DEKLARATIF
– Jelas
– Sederhana
– Tidak Bermakna Ganda

2. MEMPUNYAI LANDASAN TEORI YANG KUAT
 Tidak Muncul Sendiri
 Dibangun Atas Dasar Teori, Pengalaman, dan sumber ilmiah yang sahih
3. MENYATAKAN HUBUNGAN ANTARA SATU ATAU LEBIH VARIABEL BEBAS DENGAN SATU VARIABEL TERGANTUNG
4. MEMUNGKINKAN DIUJI SECARA EMPIRIS
5. RUMUSAN BERSIFAT KHAS DAN MENGGAMBARKAN VARIABEL-VARIABEL YANG DIUKUR
Hipotesis Penelitian (Research Hypothesis)
 pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian
 validitasnya harus diuji secara empiris
 tidak dinilai benar atau salah melainkan apakah sahih/valid atau tidak
 mencari hubungan variabel
 tidak harus ada dalam setiap penelitian
 dilihat dari pertanyaan penelitian
Penelitian Yang Memerlukan Hipotesis
• PERTANYAAN PENELITIAN
– lebih besar
– lebih kecil
– berhubungan dengan
– dibandingkan dengan
– menyebabkan….
– dll

Hipotesis Kerja
• Hipotesis yg akan dibuktikan/diuji kebenarannya dengan penelitian yg dilakukan
• Apabila…, maka ….
• Ada hubungan antara …. dengan …
• Ada perbedaan antara … dengan …
• Tergantung: (1) rumusan masalah; (2) model kerangka teoritik yg dikembangkan

Jenis Hipotesis
• Hipotesis Kerja (hipotesis alternatif, hipotesis penelitian, H1)
• Hipotesis Nihil (Ho) Uji Statistik
• Hipotesis Tandingan Rancangan

Ada 2 bentuk Hipotesis Kerja
• Hipotesis satu ekor dan hipotesis dua ekor
• Jumlah uban di kepala orang kota lebih banyak daripada uban orang desa (satu ekor)
• Ada perbedaan jumlah uban di kepala orang kota dibandingkan uban orang desa (2 ekor)
• Satu ekor → arah jelas; Dua ekor → belum jelas arahnya
• Ditentukan oleh seberapa jauh kekuatan landasan teoritik yg digunakan untuk menyusun hipotesis
• Mempengaruhi cara pengambilan keputusan statistik pd analisis hasil.

Hipotesis Nihil dan Hipotesis Tandingan
 Aksioma  Hipotesis kerja tidak mungkin berada dalam kebenaran bersama dengan hipotesis nihil dan hipotesis tandingan.
 Untuk membuktikan hipotesis kerja digunakan cara tidak langsung dengan jalan menolak kebenaran kedua hipotesis lainnya (hipotesis nihil dan hipotesis tandingan)

Hipotesis Nihil
 Ho adalah kebalikan dari hipotesis kerja (H1)
 Tidak ada korelasi antara … dengan …
 Tidak ada perbedaan antara … dengan …
 Hipotesis ini sebenarnya hanya ada dalam alam pikiran peneliti, yg digunakan untuk pembuktian dengan analisis statistik, karena semua analisis statistik inferensial dikembangkan berdasarkan pada karakteristik hipotesis nihil

Hipotesis Tandingan
 Hipotesis dari variabel-variabel “luar”, yaitu variabel tandingan bagi variabel pengaruh yg ada dalam hipotesis kerja.
 Peneliti dapat mengontrol atau membuktikan ketidakbenaran hipotesis tandingan dengan jalan membuat desain atau rancangan penelitian yg adekuat.
 Hanya ada dalam pemikiran peneliti atas dasar mana rancangan penelitian disusun.

Unsur yg Mendasari Hipotesis
 Teori yg telah mapan, yg berkaitan dengan permaslahan penelitian yg dihadapi
 Fakta empirik atau informasi yg diketahui dari peneltian terdahulu
 Konsep atau teori “imajinatif” peneliti sendiri (asumsi), yg dimunculkan dalam rangka melengkapi teori dan fakta empirik di atas agar dapat menjawab permasalahan penelitian yg dihadapi.
 Ketiga unsur tsb dirangkai secara logis dan sistematis oleh peneliti  hipotesis yg dihasilkan “masuk akal” dan mempunyai dasar yg kuat.
 Untuk pengembangan landasan teoritik ini kemampuan analisis peneliti, termasuk di dalamnya cara berpikir deduktif, amat membantu.

Petunjuk Praktis
 Identifikasi variabel-variabel dari rumusan permasalahan penelitian
 Cari informasi sedalam dan seluas mungkin, dari teori dan fakta penelitian yg telah ada, yg berkaitan dg variabel-variabel diatas.
 Hubungkan kenyataan yg ada dengan informasi tersebut → peneliti mengetahui adanya “sesuatu yang kurang”. Dari kekurangan inilah peneliti “mereka-reka” konsep atau hubungan imajinatifnya → antara kenyataan, teori, dan permaslahan tdpt hubungan yg jelas.

Rumusan Hipotesis yg Adekuat
 Prinsipnya: (1) menyangkut substansi atau isi hipotesis itu sendiri; (2) formulasinya
 Substansi ditentukan oleh seberapa jauh dapat menjawab permasalahan penelitian yg diajukan dan seberapa lengkap informasi teoritik maupun fakta penelitian terdahulu digunakan dalam mengembangkan landasan teori bagi penyusunan hipotesis tersebut.




Rumusan Hipotesis yg Baik
 Dinyatakan dalam kalimat deklaratif yg jelas dan sederhana
 Mempunyai landasan teori yang kuat. Dibangun dg teori, pengalaman dan sumber ilmiah yg kuat
 Menyatakan hubungan antara satu variabel tergantung dengan satu variabel satu atau lebih variabel bebas
 Memungkinkan diuji secara empiris (operasional) → keterukuran variabel dan keterujian korelasi
 Rumusan harus khas dan menggambarkan variabel-variabel yg diukur
 Dikemukakan secara a priori. Dinyatakan sebelum penelitian dimulai, sebelum data terkumpul

Kegunaan Hipotesis
Instrumen kerja bagi peneliti
 Memberi tuntunan kepada peneliti ke arah mana penelitian itu harus dilakukan
 Merupakan alat untuk melokalisasikan fenomena-fenomena, dan menuntun cara identifikasi variabel-variabel yg dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian

Penelitian yg Tidak Perlu Hipotesis
• Penelitian eksploratif murni (survei deskriptif, reviuw program )
• Penelitian manuskrip sejarah kedokteran
• Penelitian grounded di bidang Kedokteran

Kegunaan Hipotesis
1. Memberi petunjuk prosedur mana atau rancangan penelitian mana yg dipilih. Dalam kaitan ini berarti hipotesis merupakan petunjuk bagi penetapan populasi subyek penelitian, dan bagaimana rancangan sampelnya, metoda dan alat pengukur mana yg tepat untuk dipilih
2. Memberi petunjuk bagi cara pengolahan data dan cara analisis hasil penelitian. Sebagai contoh: cara pengambilan keputusan statistik untuk pembuktian hipotesis (satu ekor; atau dua ekor)





Jenis Hipotesis
• Hipotesis Statistik:
– Hipotesis Alternatif
– Hipotesis Null (Null Hypotheses)
– Hipotesis Berarah (One-Tailed Hypotheses)
– Hipotesis Tidak Berarah (Two-Tailed Hypotheses)
• Hipotesis Deskriptif
Hipotesis Statistik
• Hipotesis yang diformulasikan secara stattistik dan menggunakan simbol-simbol tertentu.
• Simbol yang digunakan antara lain: H0 dan H1 (alternatif)
1. Hipotesa Alternatif (Alternative Hypothesis)
• Hipotesa yang mendukung prediksi
• Diterima jika hasil penelitian mendukung hipotesa
• Dinyatakan dengan H1
2. Hipotesa Nul (Null Hypothesis)
• Hipotesa yang mendeskripsikan keluaran selain dari hipotesa alternatif
• Biasanya mendeskripsikan tidak ada hubungan/pengaruh antara variabel yang diuji
• Dinyatakan dengan H0
3. Hipotesis Berarah (One-Tailed Hypotheses):
• Secara spesifik mendeskripsikan hipotesis yang berarah (direction)
• Hipotesa Nul tidak ada perbedaan antar variabel dan diprediksikan kearah berlawanan
4. Hipotesis Tdk Berarah (Two-Tailed Hypotheses):
• Prediksi yang tidak berarah
• Hipotesa Nul adalah tidak ada perbedaan/pengaruh/hubungan antar variabel




Hipotesis Deskriptif
• Jawaban sementara yang disusun dalam bentuk kalimat biasa.
• Harus didujung oleh argumentasi yang kuat berdasarkan teori, konsep, hukum, dan lain-lain yang relevan.
• Tidak berdasarkan trial and error.

Senin, 08 Maret 2010

BAB III KONSEPTUALISASI MASALAH PENELITIAN

BAB III
KONSEPTUALISASI MASALAH PENELITIAN


1. Hakikat masalah

Masalah itu ada kalau ada kesenjangan (gap) antara apa yang seharusnya (what should be) dengan apa yang ada dalam kenyataan (what is), kesenjangan antara harapan dan kenyataan, kesenjangan antara cita-cita dan apa yang berjalan. Mendefenisikan permasalahan berarti mendefenisikan keadaan yang masih dianggap kurang baik (Sutrisno Hadi, 1991).

Contoh masalah :
Kekurangan air di daerah kaki gunung Gamalama
Amir (7 Tahun) sudah 3 hari rewel terus tidak jelas penyebabnya, ibunya sampai bingung. Mengapa ya ?
Apakah pria lebih berpendidikan dibandingkan dengan wanita ?

LATAR BELAKANG MASALAH
Istilah-istilah Latar belakang masalah = latar belakang = background = alasan penting pemilihan judul/masalah penelitian.
Isi Latar belakang :
– mengemukakan masalah-masalah/gejala-gejala masalah y berkaitan dengan variabel di dalam judul, yang diawali den masalah-masalah variabel terikat (dependen/Y) lalu di masalah-masalah variabel bebas (independen/X).
– Masalah-masalah yang dikemukakan boleh didukung o dokumen perusahaan, dokumen media massa, h pengamatan, dan sangat baik jika didukung oleh refere referensi dari buku, jurnal, skripsi, tesis, atau disertasi.

Langkah-langkah menyusun latar belakang masalah:

1. Kemukakan arti penting / peranan penting / manfaat dari variabel terikat, baik bagi organisasi maupun bagi karyawan, atau pihak lain. Dukung dengan referensi dari buku atau jurnal
2. Kemukakan gejala-gejala masalah yang berkaitan dengan variabel terikat tersebut, dukung dengan dokumen, hasil pengamatan, wawancara, atau angket, yang telah diperoleh dari hasil penelitian pendahuluan (prariset)
3. Kemukakan faktor-faktor apa saja yang bias mempengaruhi variabel terikat tersebut. Dukung dengan referensi dari buku teks atau jurnal
4. Pilih satu atau beberapa faktor tersebut yang dianggap paling penting untuk dijadikan variable terikat dalam penelitian kita.
5. Kemukakan gejala-gejala masalah dari setiap factor yang sudah dipilih tersebut, dukung dengan dokumen, hasil pengamatan, wawancara, atau angket, yang telah diperoleh dari hasil penelitian pendahuluan (prariset)

Menemukan masalah
1. Tentukan satu topik
2. Uraikan topik tersebut ke dalam bentuk pertanyaan
3. Pilih salah satu dari daftar tersebut
4. Evaluasi : Menarik, bermanfaat, hal yang baru, dapat dilaksanakan (kemampuan peneliti, ketersediaan data, dana, waktu), tidak melanggar etika (informed consent, invation of privacy, convidentialy, deception)

IDENTIFIKASI MASALAH

Penelitian dimulai dari pertanyaan yang belum dapat dijawab oleh seorang peneliti. Untuk ini diperlukan adanya motivasi yang berupa rasa ingin tahu untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk melihat dengan jelas tujuan dan sasaran penelitian, perlu diadakan identifikasi masalah dan lingkungan masalah itu. Masalah penelitian selanjutnya dipilih dengan kriteria, antara lain apakah penelitian itu dapat memecahkan permasalahan, apakah penelitian itu dapat diteliti dari taraf kemajuan pengetahuan, waktu, biaya maupun kemampuan peneliti sendiri, dan lain-lain. Permasalahan yang besar biasanya dibagi menjadi beberapa sub-masalah. Substansi permsalahan diidentifisikasikan dengan jelas dan konkrit. Pengertian-pengertian yang terkandung didalamnya dirumuskan secara operasional. Sifat konkrit dan jelas ini, memungkinkan pertanyaan-pertanyaan yang diteliti dapat dijawab secara eksplisit, yaitu apa, siapa, mengapa, bagaimana, bilamana, dan apa tujuan penelitian. Dengan identifikasi yang jelas peneliti akan mengetahui variabel yang akan diukur dan apakah ada alat-alat untuk mengukur variabel tersebut.




RUMUSAN MASALAH
Setelah peneliti menentukan bidang penelitian (problem area) yang diminatinya, kegiatan berikutnya adalah menemukan permasalahan (problem finding atau problem generation). Penemuan permasalahan merupakan salah satu tahap penting dalam penelitian. Situasinya jelas: bila permasalahan tidak ditemukan, maka penelitian tidak perlu dilakukan. Pentingnya penemuan permasalahan juga dinyatakkan oleh ungkapan: “Berhasilnya perumusan permasalahan merupakan setengah dari pekerjaan penelitian”. Penemuan permasalahan juga merupakan tes bagi suatu bidang ilmu; seperti diungkapkan oleh Mario Bunge (dalam : Buckley dkk., 1976, 14) dengan pernyataan: “Kriteria terbaik untuk menjajagi apakah suatu disiplin ilmu masih hidup atau tidak adalah dengan memastikan apakah bidang ilmu tersebut masih mampu menghasilkan permasalahan . . . . Tidak satupun permasalahan akan tercetus dari bidang ilmu yang sudah mati”. Permasalahan yang ditemukan, selanjutnya perlu dirumuskan ke dalam suatu pernyataan (problem statement). Dengan demikian, pembahasan isi bab ini akan dibagi menjadi dua bagian: (1) penemuan permasalahan, dan (2) perumusan permasalahan.
Penemuan Permasalahan
Kegiatan untuk menemukan permasalahan biasanya didukung oleh survai ke perpustakaan untuk menjajagi perkembangan pengetahuan dalam bidang yang akan diteliti, terutama yang diduga mengandung permasalahan. Perlu dimengerti, dalam hal ini, bahwa publikasi berbentuk buku bukanlah informasi yang terbaru karena penerbitan buku merupakan proses yang memakan waktu cukup lama, sehingga buku yang terbit—misalnya hari ini—ditulis sekitar satu atau dua tahun yang lalu. Perkembangan pengetahuan terakhir biasanya dipublikasikan sebagai artikel dalam majalah ilmiah; sehingga suatu (usulan) penelitian sebaiknya banyak mengandung bahasan tentang artikel-artikel (terbaru) dari majalah-majalah (jurnal) ilmiah bidang yang diteliti. Kegiatan penemuan permasalahan, seperti telah disinggung di atas, didukung oleh survai ke perpustakaan untuk mengenali perkembangan bidang yang diteliti. Pengenalan ini akan menjadi bahan utama deskripsi “latar belakang permasalahan” dalam usulan penelitian. Permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan harapan, antara tren perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara kenyataan dengan ide. Sutrisno Hadi (1986, 3) mengidentifikasikan permasalahan sebagai perwujudan “ketiadaan, kelangkaan, ketimpangan, ketertinggalan, kejanggalan, ketidakserasian, kemerosotan dan semacamnya”. Seorang peneliti yang berpengalaman akan mudah menemukan permasalahan dari bidang yang ditekuninya; dan seringkali peneliti tersebut menemukan permasalahan secara “naluriah”; tidak dapat menjelaskan bagaimana cara menemukannya. Cara-cara menemukan permasalahan ini, telah diamati oleh Buckley dkk. (1976) yang menjelaskan bahwa penemuan permasalahan dapat dilakukan secara “formal’ maupun ‘informal’. Cara formal melibatkkan prosedur yang menuruti metodologi tertentu, sedangkan cara informal bersifat subjektif dan tidak “rutin”. Dengan demikian, cara formal lebih baik kualitasnya dibanding cara informal. Rincia n cara-cara yang diusulkan Buckley dkk. dalam kelompol formal dan informal terlihat pada gambar di bawah ini.
Bukley dkk., (1976:16-27) menjelaskan cara-cara penemuan permasalahan—baik formal maupun informal—sebagai diuraikan di bagian berikut ini. Setelah permasalahan ditemukan, kemudian perlu dilakukan pengecekan atau evaluasi terhadap permasalahan tersebut— sebelum dilakukan perumusan permasalahan.
Cara-cara Formal Penemuan Permasalahan
Cara-cara formal (menurut metodologi penelitian) dalam rangka menemukan permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1) Rekomendasi suatu riset. Biasanya, suatu laporan penelitian pada bab terakhir memuat kesimpulan dan saran. Saran (rekomendasi) umumnya menunjukan kemungkinan penelitian lanjutan atau penelitian lain yang berkaitan dengan kesimpulan yang dihasilkan. Saran ini dapat dikaji sebagai arah untuk menemukan permasalahan.
2) Analogi adalah suatu cara penemuan permasalahan dengan cara “mengambil” pengetahuan dari bidang ilmu lain dan menerapkannya ke bidang yang diteliti. Dalam hal ini, dipersyaratkan bahwa kedua bidang tersebut haruslah sesuai dalam tiap hal-hal yang penting. Contoh permasalahan yang ditemukan dengan cara analogi ini, misalnya: “apakah Proses perancangan perangkat lunak komputer dapat diterapkan pada proses perancangan arsitektural” (seperti diketahui perencanaan perusahaan dan perencanaan arsitektural mempunyai kesamaan dalam hal sifat pembuatan keputusannya yang Judgmental).
3) Renovasi. Cara renovasi dapat dipakai untuk mengganti komponen yang tidak cocok lagi dari suatu teori. Tujuan cara ini adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kemantapan suatu teori. Misal suatu teori menyatakan “ada korelasiyang signifikan antara arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya” dapat direnovasi menjadi permasalahan “seberapa korelasi antara arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya dengan tingkat pendidikan penghuni yang berbeda”. Dalam contoh di atas, kondisi yang “umum” diganti dengan kondisi tingkat pendidikan yang berbeda.
4) Dialektik, dalam hal ini, berarti tandingan atau sanggahan. Dengan cara dialektik, peneliti dapat mengusulkan untuk menghasilkan suatu teori yang merupakan tandingan atau sanggahan terhadap teori yang sudah ada.
5) Ekstrapolasi adalah cara untuk menemukan permasalahan dengan membuat tren (trend) suatu teori atau tren permasalahan yang dihadapi.
6) Morfologi adalah suatu cara untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang terkandung dalam suatu permasalahan yang rumit, kompleks.
7) Dekomposisi merupakan cara penjabaran (pemerincian) suatu pemasalahan ke dalam komponen-komponennya.
8) Agregasi merupakan kebalikan dari dekomposisi. Dengan cara agregasi, peneliti dapat mengambil hasil-hasil peneliti atau teori dari beberapa bidang (beberapa penelitian) dan “mengumpulkannya” untuk membentuk suatu permasalah yang lebih rumit, kompleks.
Cara-cara Informal Penemuan Permasalahan
Cara-cara informal (subyektif) dalam rangka menemukan permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1) Konjektur (naluriah). Seringkali permasalahan dapat ditemukan secara konjektur (naluriah), tanpa dasar-dasar yang jelas. Bila kemudian, dasar-dasar atau latar belakang permasalahan dapat dijelaskan, maka penelitian dapat diteruskan secara alamiah. Perlu dimengerti bahwa naluri merupakan fakta apresiasi individu terhadap lingkungannya. Naluri, menurut Buckley, dkk., (1976, 19), merupakan alat yang berguna dalam proses penemuan permasalahan.
2) Fenomenologi. Banyak permasalahan baru dapat ditemukan berkaitan dengan fenomena (kejadian, perkembangan) yang dapat diamati. Misal: fenomena pemakaian komputer sebagai alat bantu analisis dapat dikaitkan untuk mencetuskan permasalahan – misal: seperti apakah pola dasar pendaya – gunaan komputer dalam proses perancangan arsitektural.
3) Konsensus juga merupakan sumber untuk mencetuskan permasalahan. Misal, terdapat konsensus bahwa kemiskinan bukan lagi masalah bagi Indonesia, tapi kualitas lingkungan yang merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (misal hal ini merupakan konsensus nasional).
4) Pengalaman. Tak perlu diragukan lagi, pengalaman merupakan sumber bagi permasalahan. Pengalaman kegagalan akan mendorong dicetuskannya permasalahan untuk menemukan penyebab kegagalan tersebut. Pengalaman keberhasilan juga akan mendorong studi perumusan sebab-sebab keberhasilan. Umpan balik dari klien, misal, akan mendorong penelitian untuk merumuskan komunikasi arsitek dengan klien yang lebih baik.
Keterkaitan antara Rumusan Permasalahan dengan Hipotesis dan Temuan Penelitian
Bila penelitian telah selesai dilakukan, maka dalam laporan penelitian perlu ditunjukkan “benang merah” (keterkaitan yang jelas) antara rumusan permasalahan dengan hipotesis (sebagai “jawaban” sementara terhadap permasalahan penelitian). Rincian dalam permasalahan perlu berkaitan lengasung dengan rincian dalam hipotesis, dalam arti, suatu rincian dalam hipotesis menjawab suatu rincian dalam permasalahan. Demikian pula, perlu diperlihatkan keterkaitan tiap rincian dalam temuan (sebagai jawaban nyata terhadap permasalahan) dengan tiap rincian dalam rumusan permasalahan.
Baik permasalahan, hipotesis dan temuan—sebagai upaya pengembangan atau pengujian teori—berkaitan secara substantif dengan tinjauan pustaka (sebagai kajian terhadap isi khazanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian). Kaitan substantif diartikan sebagai hubungan “isi”, tidak perlu dalam bentuk keterkaitan antar rincian.
1. Isi rumusan masalah untuk penelitian asosiatif:
Contoh Judul: Hubungan motivasi kerja dan kemampuan karyawan dengan kinerja karyawan PT. X Sukabumi.
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan tentang variabel bebasnya/x (jika variabel bebasnya lebih dari satu, maka pertanyaan juga harus lebih dari satu)
Contoh:
Bagaimana tingkat motivasi kerja karyawan PT.X Sukabumi?
Bagaimana tingkat kemampuan kerja karyawan PT.X Sukabumi?
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan variabel terikatnya/y (jika variabel terikatnya lebih dari satu, maka pertanyaan juga harus lebih dari satu)
Contoh: Bagaimana tingkat kinerja karyawan PT.X Sukabumi?
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan hubungan variabel bebas dengan variabel terikatnya (jika variabel bebas lebih dari satu, maka susun kalimat yang mempertanyakan hubungan variabel bebas pertama (x1) dengan variabel terikat (y), dan susun pula kalimat yang mempertanyakan hubungan variabel bebas kedua (x2) dengan variable terikat (y), begitu seterusnya)
Contoh:
– Bagaimana hubungan motivasi kerja dengan kinerja karyawan PT.X Sukabumi?
– Bagaimana hubungan kemampuan karyawan dengan kinerja karyawan PT.X Sukabumi?
– Bagaimana hubungan motivasi kerja dan kemampuan karyawan dengan kinerja karyawan PT.X Sukabumi?

2. Isi rumusan masalah untuk penelitian komparatif:
Contoh Judul: Perbedaan motivasi kerja Karyawan Bagian Umum dan Bagian Personalia di PT. X Sukabumi.
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan tentang objek pertama Contoh:
Bagaimana tingkat motivasi kerja karyawan Bagian Umum di PT.X Sukabumi?
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan tentang objek kedua Contoh:
Bagaimana tingkat motivasi kerja karyawan Bagian Personalia di PT.X Sukabumi?
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan tentang perbedaan objek
Contoh:
Apakah ada perbedaan tingkat motivasi kerja karyawan Bagian Umum dan Bagian Personalia di PT.X Sukabumi?

3. Isi rumusan masalah untuk penelitian deskriptif:
Contoh Judul: Analisis motivasi kerja, kemampuan kerja, dan kinerja karyawan di PT. X Sukabumi.
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan tentang variabel pertama
Contoh:
Bagaimana tingkat motivasi kerja karyawan PT.X Sukabumi?
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan tentang variabel kedua
Contoh:
Bagaimana tingkat kemampuan kerja karyawan PT.X Sukabumi?
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan tentang variabel ketiga
Contoh:
Bagaimana tingkat kinerja karyawan PT.X Sukabumi?

TUJUAN PENELITIAN
– Tujuan penelitian= research goal=hal-hal yang diharapkan akan tercapai dari penelitian yang dilakukan, sesuai dengan apa yang dipertanyakan pada rumusan masalah. Dengan demikian apa yang dipertanyakan pada rumusan masalah, hal itu juga yang menjadi tujuan penelitian
– Sumber relevan: rumusan masalah

Isi tujuan penelitian untuk penelitian asosiatif:
Contoh Judul: Hubungan motivasi kerja dan kemampuan karyawan dengan kinerja karyawan PT. X Sukabumi.
– Kemukakan tujuan yang diharapkan tentang variabel bebasnya/x (jika variabel bebasnya lebih dari satu, maka pertanyaan juga harus lebih dari satu)
Contoh:
 Mengkaji tingkat motivasi kerja karyawan PT.X Sukabumi
 Mengkaji tingkat kemampuan kerja karyawan PT.X Sukabumi
– Kemukakan kalimat yang mempertanyakan variabel terikatnya/y (jika variable terikatnya lebih dari satu, maka pertanyaan juga harus lebih dari satu)
Contoh:
 Mengkaji tingkat kinerja karyawan PT.X Sukabumi
– Kemukakan tujuan tentang hubungan variabel bebas dengan variable terikatnya (jika variabel bebas lebih dari satu, maka susun kalimat yang mengemukakan tujuan tentang hubungan variabel bebas pertama (x1) dengan variabel terikat (y), dan tujuan tentang hubungan variabel bebas kedua (x2) dengan variabel terikat (y), begitu seterusnya)
Contoh:
 Mengkaji hubungan motivasi kerja dengan kinerja karyawan PT.X Sukabumi
 Mengkaji hubungan kemampuan karyawan dengan kinerja karyawan PT.X Sukabumi
 Mengkaji hubungan motivasi kerja dan kemampuan karyawan dengan kinerja karyawan PT.X Sukabumi

Catatan: untuk penelitian komparatif dan deskriptif, dapat disesuaikan dengan rumusan masalahnya.

MANFAAT PENELITIAN
 Manfaat Penelitian= hal-hal yang kemungkinan bias berguna setelah penelitian selesai dilaksanakan.
 Isi manfaat penelitian bisa berupa:
– Manfaat teoritis (keilmuan)
Contoh:
 Memperluas pengetahuan penulis dalam masalah manajemen sumber daya manusia, khususnya tentang kinerja, motivasi, dan kemampuan karyawan.
 Menjadi referensi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang relevan.
– Manfaat praktis (pemecahan masalah)
Contoh:
 Memberikan referensi bagi perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia yang efektif.




KESIMPULAN

Judul
Latar Belakang Masalah
Identifikasi Masalah
Batasan Masalah
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian








Daftar Pustaka :

http://bahankuliah.wordpress.com/2009/05/14/perumusan-permasalahan-2/

http://peni.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/10795/Pendefinisian+&+Perumusan+Masalah.pdf